Telah Berpulang Istri Pahlawan Nasional I Gusti Ngurah Rai

KataBali.com -Telah berpulang ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi, Desak Putu Kari pada Minggu (10/12/2017) pagi. Desak Putu merupakan istri pahlawan nasional almarhum I Gusti Ngurah Rai.
Almarhumah meninggal di usia 90-an. “Telah berpulang Ibunda, Niang dan, kumpi kami tercinta, Janda I Gusti Ngurah Rai pahlawan nasional pagi ini. Amor ring acintya Niang,” demikian pesan singkat yang dikirim cucu I Gusti Ngurah Rai, Indha Trimafo Yudha. Jenazah saat ini disemayamkan di rumah duka di Jalan Nangka Selatan, Denpasar.
Berdasarkan telusur kepustakaan terungkap, Desak Putu Kari, seorang gadis penari arja dari Kota Gianyar dinikahi I Gusti Ngurah Rai pads tahun 1938. Dari pernikahan tersebut beliau dikarunia 3 orang putra yakni I Gusti Ngurah Gede Yudana sebagai anak sulung, I Gusti Ngurah Tantra sebagai anak tengah dan I Gusti Ngurah Alit Yudha sebagai anak bungsu.
Dalam buku yang diterbitkan Yayasan Kebaktian Proklamasi (YKP) berjudul “I Gusti Ngurah Rai Pahlawan Nasional: Sisi-Sisi Humanis dalam Perang Kemerdekaan Indonesia di Bali”, salah seorang penulis yakni Prof. Dr.Ir. Wayan Windia, mengungkap percakapan antara Pak Rai dengan istrinya Desak Putu Kari sebelum I Gusti Ngurah Rai pamit untuk pergi berperang.
“Sebelum Pak Rai berpisah dengan istrinya, beliau bertanya ke istrinya `Putu mai malu, kude ngelah pipis (Putu ke sini dulu, punya uang berapa)?`. Desak Putu lantas berpikir kok tumben ditanya soal uang,” tutur Windia, yang juga guru besar Fakultas Pertanian Universitas Udayana (Unud).
Desak Putu sempat menuturkan bagaimana perjalanan hidup dirinya dan anak-anaknya saat ditinggal sang suami berperang.
Ketika pergi berperang, Pak Rai meninggalkan istrinya bersama dua anaknya I Gusti Ngurah Gede Yudana (berusia 4,5 tahun) dan I Gusti Nyoman Tantra (1 tahun) di rumah mereka di Desa Carangsari, Badung, sekitar 30 km utara Kota Denpasar.
Bayi dalam kandungan Desak Putu Kari, yang kemudian lahir dan diberi nama I Gusti Ngurah Alit Yudha, tidak pernah melihat ayahandanya. Sebab, keberangkatan Pak Rai untuk berperang saat itu menjadi kepergian beliau selama-lamanya.
Saat itu bertepatan dengan Galungan, yaitu hari kemenangan Dharma (kebaikan) melawan Adharma (Keburukan), pada Budha Kliwon Dungulan, 19 Desember 1945.
Pak Rai meninggalkan Bali dalam sebuah perjalanan panjang menuju Yogyakarta, ibukota revolusi Republik Indonesia saat itu. Saat ditinggalkan I Gusti Ngurai Rai, hidup Desak Putu Kari sempat luntang-lantung.
Dalam himpitan kesulitan ekonomi, warga masyarakat ternyata tidak berani menerima dan memberikan bantuan pada Desak Putu, karena takut pada Belanda.
Kalaupun ada yang mau terima dan memberikan makan, mereka cepat-cepat menyuruh Desak Putu pergi lagi agar tidak sampai diketahui tentara Belanda. Akhirnya Desak Putu dan anak-anaknya ditahan Belanda, dengan tujuan agar Pak Rai menyerah.
“Kami gambarkan dalam buku bagaimana perasaan dan suasana batin Pak Rai saat mengetahui bahwa istrinya ditahan Belanda dan diberi makan seadanya,” ujar Windia.
“Kami terharu begitu mendengar cerita Bu Desak Putu Kari yang kini berusia 92 tahun. Kami meneteskan air mata juga menuliskannya kembali. Perasaan kami bercampur aduk,” jelas Windia dengan nada bicara yang mulai pelan dan mata yang terlihat berkaca-kaca.(kbb)

katabali

Kami merupakan situs portal online

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *