Majelis Hakim Tolak 24 Bukti Made Darma dkk Diduga Palsu, Sidang Berlanjut

caption: Made Darma

KataBali.com – Denpasar – Sidang perkara pidana nomor 493/Pid.B/2025/PN Dps tentang dugaan surat palsu dan penggelapan asal usul memasuki babak baru. Setelah Majelis Hakim menolak eksepsi para terdakwa dalam sidang pekan lalu, sidang dilanjutkan dengan tahap pemeriksaan saksi di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar, Kamis (12/06/2025).

Jaksa Penuntut Umum atau JPU menghadirkan 4 orang saksi, yaitu I Made Tarip, I Nyoman Serep, I Nyoman Kasta dan I Gede Putu Sontra untuk membuktikan adanya tindak pidana surat palsu sesuai Pasal 263 KUHP dan pengelapan asal-usul keturunan sesuai Pasal 277 KUHP yang diduga kuat dilakukan oleh 17 orang terdakwa. Pada kesempatan itu, saksi pelapor Made Tarip Widarta menyerahkan 24 bukti yang diduga kuat palsu kepada JPU. Sementara para terdakwa itu adalah Ni Nyoman Reja (93), I Made Dharma, SH (64), I Ketut Sukadana (58), I Made Nelson (56), Ni Wayan Suweni (55), I Ketut Suardana (51), I Made Mariana (54), I Wayan Sudartha (57), I Wayan Arjana (48), I Ketut Alit Jenata (50), I Gede Wahyudi (30), I Nyoman Astawa (55), I Made Alit Saputra (45), I Made Putra Wiryana (22), I Nyoman Sumertha (63), I Ketut Senta (78), dan I Made Atmaja (61).


Kuasa hukum pelapor Advokat Harmaini Hasibuan, SH dari Kantor Hukum H2B Law Office mejelaskan terdapat 24 poin penting yang disampaikan oleh saksi pelapor I Made Tarip Widarta dalam bentuk kesaksian tertulis. Dimana dari 24 poin tersebut menjadikan dakwaan JPU semakin terang benderang tentang perbuatan pidana yang diduga kuat dilakukan oleh total ke 17 terdakwa.

“Berdasarkan keterangan para saksi yang hadir di persidangan tersebut menerangkan tentang adanya bukti-bukti yang tidak benar atau palsu di dalam dua surat silsilah tanggal 14 Mei 2001 dan tanggal 11 Mei 2022 yang dibuat oleh para terdakwa sendiri,” ungkapnya di luar persidangan.


Dikatakan Hasibuan, bukti – bukti tersebut adalah surat pernyataan silsilah keluarga dengan struktur keturunan I Wayan Selungkih pada tanggal 11 Mei 2022 yang dibuat oleh para terdakwa berdasarkan pada surat pernyataan keluarga I Riyeg tanggal 14 Mei 2001. Bahwa antara surat pernyataan silsilah keluarga dengan struktur keturunan I Wayan Selungkih tanggal 11 Mei 2022 yang dibuat para terdakwa yang katanya berdasarkan pada surat pernyataan keluarga I Riyeg tanggal 14 Mei 2001 nyatanya isinya tidak sama. Hal ini berbeda karena dalam silsilah keluarga I Riyeg tanggal 14 Mei 2001 saudara laki-laki Ni Wayan Rumpeng hanya 3 orang, yaitu I Wayan Teteng, I made Griyeng, dan I Nyoman Wirak.

Sedangkan pada silsilah keluarga tanggal 11 Mei 2022 terdapat 4 orang suadara laki-laki Ni Wayan Rumpeng. Selain itu, silsilah keluarga I Riyeg tanggal 14 Mei 2001 tercatat istri dari I Riyeg (alm) hanya satu bernama Ni Rumpeng (alm). Sedangkan di dalam silsilah keluarga I Riyeg tanggal 11 Mei 2022 tercatat istri dari I Riyeg (alm) ada tiga, yaitu Ni Wayan Rumpeng (alm), Dong Hilang (alm) dan Ni Puglek (alm). Dalam silsilah keluarga I Riyeg tanggal 14 Mei 2001 tercatat I Wayan Selungkih kakak beradik dengan Made Gombloh versi para terdakwa merupakan kakek buyut dari I Made Tarip Widarta dkk. Padahal faktanya tidak ada Kakek I Made Tarip bernama Made Gombloh. Kakek buyut I Made Tarip Widarta dkk bernama Jro Made Lusuh sesuai silsilah keluarga I Riyeg tanggal 6 Juni 2023.


“Dalam silsilah keluarga I Riyeg tanggal 14 Mei 2001 nama Kakek buyut pelapor I Made Tarip Widarta dkk tercatat sampai kepada I Wayan Riyeg, Gurun Rugeg, dan I Ketut Recug. Dari I Ketut Recug memiliki anak I Nyoman Diarsa dan Made Ketek, Made Ketek memiliki anak I wayan Terek, I Made Tarip Widarta, I Nyoman Serep, I Ketut Adnyana dan I Nyoman Astawan. Akan tetapi walapun nama mereka tercatat dalam silsilah 14 Mei 2001, tetapi para pelapor Made Tarip Widarta dkk berlima tidak ikut menandatangani silsilah keluarga I Riyeg tanggal14 Mei 2001 tersebut. Demikian juga Lurah Kelurahan Jimbaran Nyoman Soka BBA tidak ada menandatangai silsilah keluarga I Riyeg tanggal 14 Mei 2001 tersebut,” terangnya.


Dalam surat pernyataan ahli waris tanggal 11 Mei 2022, para terdakwa 17 orang tersebut telah membuat dan menandatangai surat pernyataan waris yang menyatakan bahwa para terdakwa adalah ahli waris dari I Wayan Riyeg (alm) dan I Wayan Sadra (alm). Selain para terdakwa, tidak ada lagi ahli waris lainnya. Faktanya berbeda dengan isi surat perjanjian pengosongan yang dibuat oleh para terdakwa bulan Juli 2001 dengan para terdakwa setuju dan mufakat. Para terdakwa menyatakan diri sebagai penghuni penggarap dari tanah milik pelapor I Made Tarip Widarta dkk yang diperoleh berdasarkan warisan dari I Riyeg (alm) dan I Sadra (alm).

Penyerahan dalam keadaan kosong atas tanah dan bangunan tersebut dari para terdakwa kepada pelapor Made Tarip Widarta dkk dilakukan tanpa pemberian ganti kerugian apapun juga kepada para terdakwa. Perjanian tersebut dikuatkan dengan adanya surat pernyataan bulan Juli 2001 yang dibuat para terdakwa dengan I Made Tarip Widarta dkk dihadapan Lurah Jimbaran I Nyoman Soka BBA, Kelian Desa Adat Jimbaran I Gusti Raka Antara, dan Kepala Lingkungan Pesalakan I Made Sudana serta adanya pengakuan para terdakwa sebagai pengarap di atas tanah- tanah milik pelapor yang berasal dari I Riyeg (alm) dan I Sadra (alm) sesuai isi Akta Perjanjian Pengosongan Nomor 9 dan Nomor 10 yang dibuat di Notaris Liang Budiarta B, SH, MH di Kuta.


Sementara bahwa adanya perkawinan nyentana antara Ni Wayan Rumpeng (alm) dengan I Wayan Riyeg (alm) sekitar tahun 1895 adalah pengelapan keturunan dari I Riyeg dikarenakan nama Ni Wayan Rumpeng tidak ada di dalam keluarga pelapor yang ada sebagai istri I Riyeg adalah bernama Dong Pranda. Tetapi dalam silsilah yang dibuat oleh para terdakwa tanggal 14 Mei 2001 dan tanggal 11 Mei 2022 tercatat ada 4 orang laki-laki saudara kandung dari Ni Wayan Rumpeng, yaitu I Wayan Teteng, I Made Griyeng, I Nyoman Wirak, dan I Ketut Rangakang. Selain itu, I Wayan Riyeg (alm) memiliki 3 orang istri, yaitu Ni Wayang Rumpeng, Dong Ilang (alm), dan Ni Puglek (alm) sesuai silsilah waris keluarga I Riyeg (alm) sesuai bukti milik para terdakwa sesuai bukti silsilah keluarga I Riyeg tanggal 14 Mei 2001 dan silsilah tanggal 11 Mei 2022 karena hal ini sangat bertentangan dengan hukum yang berlaku di dalam masyarakat Adat Bali.

“Oleh karena itu, tidak mungkin ada perkawinan nyentana antara I Wayan Rigeg dengan Ni Nyoman Rumpeng,” tegas Hasibuan.


Perkawinan nyentana seperti yang ada dalam bukti para terdakwa sesuai bukti silsilah keluarga I Riyeg (alm) 11 Mei 2022 yang kedua silsilah ini sudah dibatalkan dan dinyatakan tidak berlaku oleh Kepala Kelurahan Jimbaran karena telah mencabut tanda tangannya seperti yang ada dalam surat keterangan nomor: 470/101/Pem. tanggal 4 Agustus 2022 sesuai bukti P.30.

Bahwa perkawinan nyentana tidak dapat dibuktikan karena sudah tidak ada saksi yang melihat secara langsung tentang adanya tri upasaksi, yaitu dewa saksi, bhuta saksi, dan manusia saksi pada saat peristiwa perkawinan nyentana tersebut berlangsung.

Menurut hukum adat Bali jika perkawinan nyentana hanya berdasarkan cerita atau pengakuan sepihak dari saksi yang bersifat testimoni de auditu. Sebagaimana berlaku dalam prinsip hukum pada umumnya, testimonium de auditu bukan alat bukti. Dalam hukum adat Bali, kesaksian karena mendengar dari orang lain tidak dapat dijadikan alat untuk membuktikan terjadi atau tidak terjadinya suatu peristiwa.

“Perkawinan nyentana itu tidak ada dan tidak benar dalil dari para terdakwa yang menyatakan tanah milik I Riyeg (alm) berasal dari I Wayan Selungkih (alm) seperti isi bukti P.21 dengan alasan tidak mungkin I Wayan Selungkih (alm) memberikan tanahnya seluas 46 hektar kepada menantunya I Wayan Riyeg (alm) yang berstatus pradana/perempuan karena para terdakwa menyatakan kawin nyentana. Padahal I Wayan Selungkih (alm) saat itu memiliki empat anak laki-laki dan pada saat I Wayan Riyeg (alm) mendaftarkan tanahnya pada tahun 1957, umur I Wayan Riyeg (alm) sudah 86 tahun dan anaknya I Wayan Sadra (alm) sudah berumur 56 tahun. Dengan adanya bukti-bukti Pipil tertulis atas nama I Riyeg (alm) atas tanahnya seluas 46 hektar dengan nama pemilik di atas pipil tersebut adalah nama pribadi I Riyeg/I Wayan Riyeg (alm). Sehingga Pipil tersebut adalah bukti bahwa tanah seluas 46.315 hektar tersebut adalah murni milik dan harta pencarian I Wayan Riyeg (alm) sendiri,” katanya.


Menurut Hasibuan, pembagian warisan menurut hukum adat Bali dilakukan diantara para ahli waris, yaitu keturunan yang berstatus purusa (keturunan sedarah dari laki-laki). Sedangkan versi para terdakwa I Wayan Riyeg statusnya Pradana (perempuan) dalam suatu keluarga Pradana bukanlah ahli waris, laki-laki yang kawin nyentana tidak berhak membawa harta warisan orang tuanya ke dalam perkawinannya karena statusnya sebagai ahli waris telah gugur. Sejak tahun 1895 hingga tahun 2000 harta kekayaan I Riyeg (alm) baik yang berupa tanah didalam Pipil tertulis atas nama I Wayan Riyeg (alm) alias Gurun Sadra I Wayan Sadra (alm) sejak 1895 hingga sekarang tidak pernah berpindah ke tangan orang lain. Di persidangan perdata Nomor : 50/Pdt.G/2023/PN.Dps Jo. Putusan Banding Nomor 225/PDT/2023/PTDPS Jo. Putusan Kasasi Nomor 3301 K/PDT/2024 para terdakwa tidak bisa membuktikan sebagai Ahli waris yang sah dari I Riyeg dikarenakan tidak dapat membuktikan bahwa Para terdakwa telah menjalankan 3 (tiga) kewajiban (swadharma) yaitu para terdakwa dahulu pengugat tidak dapat membuktikan di persidangan telah melakukan dan melaksanakan 3 kewajiban, yaitu kewajiban (swadharma) terhadap palemahan tanah, Pawongan, dan kewajiban terhadap Parahyangan (Pura Dalam Balangan) baik bertanggung jawab terhadap biaya-biaya ritual yang dilaksanakan 6 bulan sekali maupun terhadap pelestarian Pura berupa menjaga kesucian Pura dalem Balangan Jimbaran. Sehingga fakta hukum bahwa I Riyeg (alm) dari lahir sampai dengan kematiannya tahun 1971 tidak pernah pindah dari rumahnya di “Jro Pesalakan” (yang merupakan warisan turun temurun dari Ida Dalem Putih Balangan Jimbaran sebagai pratisentana Arya Krishna Kepakisan) yang terletak di Banjar Pesalakan Jimbaran kerumah orang lain dan buktinya dari sejak Pipil-pipil atas nama I Riyeg (alm) dan I Wayan Sadra (alm) dari tanah obyek sengketa yang terbit pada tahun 1957 masih tetap tidak pernah beralih kepada siapapun sampai dengan tahun 2000 hingga tahun 2002 telah terbit Sertifikat Hak Milik atas tanah obyek sengketa atas nama Para Termohon Kasasi/Pelapor bukan atas nama Para Terdakwa yang ini membuktikan bahwa perkawinan nyentana memang tidak pernah ada.


Sementara pemilik tanah yang sejatinya penerbitan Pipil dengan atas nama I Riyeg/I Wayan Riyeg (alm) atau I Wayan Sadra alias Bongkot sudah melalui proses verbal atau inventarisasi klasering I Riyeg (alm) pada saat itu telah melengkapi syarat-syarat administrasi dan bukti kepemilikan sebagai dasar perolehan hak atas tanah yang dimohon dan telah lengkap seperti apa yang diminta oleh pegawai Landrente sesuai Ordonansi Jawa Bali Madura dan Lombok Stbld No. 117/1872. Karena di Indonesia mulai dari jaman kerajaan atau jaman penjajahan Belanda tentang penerbitan Pipil sudah diatur dalam “Agraris Wet” dan dalam Ordonantie (UU) dengan Staatblad (PP) dari Landrente 1516 s/d 1907, setelah itu berdirinya Kadaster sehingga adanya domien verklaring (1870) dan dengan terbitnya Staatblad No. 117/1872 yang berlaku untuk Jawa Bali Madura Lombok Sulawesi semua administrasi tentang pemilik tanah dengan bukti Pipil yang ada diwilayah Jimbaran telah terdaftar di Kantor Landrente dan juga penerbitan Pipil tersebut untuk keperluan pajak bumi yang bersifat Fiscal Kadaster, sedangkan yang dimaksudkan dengan PIPIL sebagai syarat mutlak untuk pendaftaran tanah di Bali dan Lombok (Stbld No. 117/1872) adalah untuk memberikan kepastian hukum disebut dengan Rechtskadaster, sehingga kesimpulan atas tidak adanya catatan “kawin nyentana” dalam Pipil atas nama I Riyeg (alm) yang kata pihak terdakwa telah terjadi sekitar tahun 1895 membuktikan bahwa perkawinan nyentana versi terdakwa diduga kuat bohong karena sesuai ordonansi 1872 Stbld No. 117 tersebut kalimat kawin nyentana wajib harus tercatat dan terdaftar dalam kikitir atau Pipil tersebut yang harus ada hubungan darah.

Dan jika benar ada perkawinan nyentana maka tidak mungkin Pipil atas tanah obyek sengketa tersebut masih atas nama I Riyeg (alm) yang katanya sudah kawin Nyentana sejak tahun 1895. Sedangkan Pipil atas nama I Riyeg (alm) terbit tahun 1957, setelah perkawinan nyentana antara I Riyeg (alm) dengan Ni Wayan Rumpeng (alm) telah berlangsung selama 60 tahun kenapa masih atas nama I Riyeg (alm) seharusnya kalau benar Nyentana sejak tahun 1895 semua warisan atas nama I Riyeg (alm) sudah harus atas nama leluhur pihak terdakwa, yaitu Wayan Selungkih, Wayan Teteng, Made Griyeng, Nyoman Wirak dan Ketut Rangkang sesuai bukti T-41 dan tercatat atau dicatat oleh petugas Pipil nama-nama ini ternyata tidak ditemukan dan tidak terdaftar dalam Pipil karena memang bukan pihak terdakwa) sebagai pemilik asal tetapi atas nama I Riyeg (alm) karena sudah given atau melalui proses verbal atau inventarisasi Klasering pegawai Landrente sesuai Ordonansi Jawa Bali Madura dan Lombok Stbld No. 117/1872 bahwa semua Pipil atas nama I Riyeg (alm) dipastikan adalah sebagai pemilik asal.


Berdasarkan ketentuan Pasal 5 UUPA No. 5/1960 maka Pipil bisa dikonversi menjadi Hak Milik vide Pasal 913 KUHPerdata Jo. Pasal 23 PP 38/1998 Pasal 53 UU No. 30/2004 sehingga satu-satunya pemilik asal yang diakui hanyalah I Riyeg (alm) nama yang terdapat dalam Pipil sebagai alas hak dan tidak berlaku landrecord atau rekaman-rekaman nama apapun yang tidak diakui sebagaimana isi Pasal 2 UU No. 5/1960 dan Pasal 24 PP 24/1997 Jo Pasal 76 PMA No. 3/1997 terkait keabsahan hak-hak lama yang diakui adalah Pipil atas nama I Riyeg (alm).

Sehingga ahli waris yang berhak adalah pihak para pelapor yang tidak ada kaitan waris dengan pihak terdakwa. Tidak ada dokumen atau surat yang dimiliki para terdakwa yang membuktikan yang menyatakan bahwa I Riyeg masuk sebagai sentana dalam surat silsilah ahli waris I Wayan Selungkih. Dan para terdakwa hanya mendengar keterangan dari Ni Nyoman Reja yang berusia 93 bahwa tidak benar I Wayan Riyeg semasa hidupnya pernah tinggal di rumah Ni Wayan Rumpeng (alm) yang bersebelahan dengan rumah Ni Nyoman Reja. Sebab I Riyeg (alm) dari lahir sampai meninggal tinggal di rumahnya sendiri di Jro Pesalakan Jimbaran di atas tanah miliknya yang telah diserahkan kepada anak kandungnya I Wayan Sadra (alm) alias I Bongkot dengan Pipil/Buku Pendaftaran Huruf C 25 Persil No. 185 Klas I Jimbaran No. 126 luas 2.800 m2 tanggal 13-3-1957. I Riyeg (alm) merupakan orang yang berasal dari Banjar Pesalakan bukan Banjar Menega, bahwa I Wayan Riyeg bersama I Made Ketek (alm) sama-sama meninggal tahun 1971 dan diaben pada tahun 1974 dan proses pengabenannya dilakukan sendiri oleh ahli warisnya yaitu I Wayan Sadra dan para pelapor sendiri dan ditempatkan secara Hindu Bali di Merajan Gede (Pura dadia Pesalakan Sri Naraya Kepakisan Jimbaran) yang berada diatas tanah “Jro Pesalakan” luas ± 60 are Jimbaran milik I Riyeg (alm) dan saudaranya I Tjetig (alm) bukan berada di atas tanah I Wayan Selungkih (alm) yang tidak para pelapor kenal sama sekali.

Tidak benar I Wayan Selungkih sekitar tahun 1895 memiliki warisan baik berupa tanah maupun Pura Dalem Balangan. Apalagi Pura Dadia Pesalakan Sri Nararya Pesalakan Jimbaran tersebut karena pengakuan para terdakwa tidak memiliki bukti surat apapun yang kata para terdakwa I wayan Selungkih telah memberikan tanah dan Pura tersebut kepada I Wayan Riyeg (alm) karena terbukti bahwa sebagai pemilik yang sah dan pewaris dari tanah-tanah laba Pura Dalem Balangan juga Pura Dalem Balangan dan Pura Dalem Konco adalah ahli waris I Riyeg (alm) yaitu para pelapor berdasarkan bukti-bukti Pipil Sertifikat Hak Milik dan berdasarkan Putusan PTUN Denpasar Nomor : 11/G/2001/PTUN.Dps serta Putusan Ombudsman Republik Indonesia Nomor : 0095/LM/IX/2018/DPS-JKT.

“Tidak benar rumah yang di tempati oleh Ni Rumpeng (alm) dan I RIYEG (alm), dan beberapa bidang tanah yang tercatat atas nama I Riyeg dan I Wayan Sadra (alm) adalah berasal dari I Wayan Selungkih (alm) sesuai surat keterangan No. 470/101/Pem tanggal 4 Agustus 2022 (P-21) yang dibuat sendiri oleh para terdakwa. Karena para terdakwa menyatakan bahwa bukti P21 adalah sebagai bukti yang menyatakan tanah – tanah I Wayan Riyeg (alm) berasal dari tanah I wayan Selungkih (alm) terbukti isi Surat (P21) diduga tidak benar atau palsu karena tidak ada kalimat atau tulisan yang berbunyi tanah – tanah I Wayan Riyeg (alm) berasal dari tanah I wayan Selungkih (alm) di dalam bukti surat P21 milik dari para terdakwa,” urainya.


Para terdakwa tidak benar jika tidak dapat dapat menunjukkan dokumen surat yang membuktikan awal kepemilikan bidang tanah tersebut adalah milik I Wayan Selungkih karena klasiran sudah berubah dan tanah tanah tersebut sudah mengalih kepada I Wayan Riyeg dan I Wayan Sadra anaknya. Tetapi yang benar karena I Wayan Selungkih bukan pemilik asal, maka tidak ada dokumen yang bisa ditunjukkan para terdakwa.

Menurut para terdakwa yang menguasai tanah tanah milik I Riyeg dan I Wayan Sadra saat ini dikuasai oleh I Wayan Terek, I Made Tarip Widarta dkk dan tanah tersebut sudah di sertifikatkan oleh I Made Tarip Widarta. Terdakwa tidak mengetahui sejak kapan tanah tersebut di sertifikatkan oleh pihak I Made Tarip dkk, yang terdakwa ketahui tanah tersebut mulai dikuasai, dua bidang tanah di wilayah Cenggiling Jimbaran disertifikatkan tahun 2010, tahun 2001 sebidang tanah berdiri hotel Kayumanis Jalan Yoga Perkanti, sebidang tanah di wilayah Tambak Sari Jimbaran 2001, sebidang tanah di Jalan Kerta Petasikan tahun 2001. Karena tanah dikuasai, maka para terdakwa menggugat pelapor di Pengadilan Perdata dan gugatan para terdakwa karena gugatan para terdakwa berdasarkan alat bukti yang diduga palsu maka gugatan para terdakwa tersebut tidak diterima atau dikalahkan, baik dipengadilan negeri denpasar dengan putusan nomor: 50/Pdt.G/2023/PN.DPS maupun ditingkat banding dengan putusan nomor: 225/Pdt./2023/PT.DPS tanggal 8 November 2023.


Menurut Hasibuan, penjelasan pelapor tersebut adalah para terdakwa khususnya I Made Dharma, I Ketut Senta, dan I Made Patra beserta ahli warisnya telah membuat pernyataan yang diduga palsu. Hal ini disebabkan lara terdakwa mengetahui kapan tanah-tanah tersebut disertifikatkan oleh para pelapor. Para terdakwa mengetahui juga tanah-tanah tersebut telah dikuasai oleh para pelapor sejak turun temurun mulai dari I Riyeg.

Para terdakwa juga menyadari dengan sengaja menggugat dengan gugatan palsu karena gugatan dibuat dengan membuat surat silsilah palsu dan surat keterangan diduga palsu. Ini dibuktikan dengan terdakwa I Made Dharma, l I Made Patra dan I Ketut Senta telah membuat pernyataan dan pengakuan bahwa para pelapor adalah pemilik tanah yang sah. Sedangkan para terdakwa I Made Dharma, I Made Patra dan I Ketut Senta mengakui bukan pemilik tanah atas tanah objek sengketa tetapi hanya sebagai penggarap. Hal dengan menandatangani surat pernyataan dan surat perjanjian pengosongan bulan Juli 2001 yang dibuat dihadapan Kepala Desa Jimbaran I Nyoman Soka, BBA (P-8 dan P-9) dan juga sudah menandatangani.

Akta Perjanjian Pengosongan tanggal 21 September 2002 No. 09 yang dibuat oleh I Ketut Senta, I Made Patra dan PT. Bali Dana Dipa (Hotel Kayu Manis) dihadapan Liang Budiarta Budi Suar Tama, SH.,MH Notaris Kabupaten Badung (P.37). Akta Perjanjian Pengosongan tanggal 21 September 2002 No. 10 yang dibuat oleh I Made Patra (bapak kandung I Made Atmaja dan I Wayan Sudartha) dan PT. Bali Danadhipa dihadapan Liang Budiarta Budi Suar Tama, SH,MH Notaris di Kabupaten Badung dikuatkan dengan bukti-bukti P-39, P-40, P-41, P-42 dan P-43.


Terdakwa I Made Dharma sebelumnya tinggal di Jalan Kerta Petasikan Jimbaran, yang menyuruh terdakwa tinggal adalah mantan Lurah Jimbaran sebagai mertua dari terdakwa I Made Dharma yang bernama I Mandi Suwirya dimana sebelum I Made Dharma tinggal di gudang tersebut. Mertuanya meminjam tanah tersebut kepada pelapor untuk memakai tanah tersebut kepada pelapor yang akan dipergunakan sebagai gudang bagi keperluan Kantor Desa Jimbaran.

Oleh karena hubungan pelapor dengan I Mandi Suwirya baik-baik saja sehingga pelapor mengijinkan I Mandi Suwirya untuk membangun gudang bagi keperluan Kantor Desa Jimbaran. Akan tetapi pelapor tidak mengetahui dan I Mandi Suwirya juga tidak memberitahu kalau penguasaan dan penghunian gudang tersebut dialihkan oleh I Mandi Suwirya kepada menantunya I Made Dharma.

“Sehingga tidak benar sama sekali kalau I Wayan Sadra yang memerintahkan terdakwa I Made Dharma untuk membangun di tanah Jalan Kerta Petasikan, kemudian Terdakwa membangun gudang. Surat pernyataan dan surat pengosongan Juli 2001 tersebut dibuat oleh terdakwa I Made Dharma sesuai pengakuan dari mantan Lurah Jimbaran I Nyoman Soka, dimana surat tersebut ditanda tangani oleh I Made Dharma, Made Patra dan I Ketut Senta atas kehendak sendiri dalam keadaan sehat rohani dan jasmani. Surat tersebut ditanda tangani oleh Kelian Desa Adat Jimbaran I Gusti Gede Raka Antara, Lurah Jimbaran I Nyoman Soka dan Kepala Lingkungan Pesalakan I Made Sudana,” pungkasnya. (Smn)

katabali

Kami merupakan situs portal online

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *