Pengadilan Tinggi Bali Di Huni Enam Hakim Bergelar Doktor Hukum

Keterangan foto: Dr. H.Sumpeno,SH.MH  foto bersama.

KataBali.Com – Denpasar – Ketika Pengadilan Tinggi (PT Bali dihuni enam hakim bergelar doktor, banyak perubahan dalam putusan kasus pidana ditingkat pertama Pengadilan Negeri baik yang dianulir maupun diturunkan hukuman dari para terdakwa yang melakukan banding. Kasus mantan Wagub Bali I Ketut Sudikerta vs PT Maspion di vonis 6 tahun lebih ringan dari putusan PN Denpasar 12 tahun.  Demikian kasus pidana penggelapan tersangka Harjanto Karyadi vs Tomy Winata di putus  2 tahun penjara di PT Bali divonis bebas murni.

Dengan putusan lebih meringankan itu,kedua  kasus pidana dengan JPU yang sama Eddy Artha Wijaya dkk mengajukan kasasi. Untuk Kasus Harjanto Karyadi oleh hakim Mahkamah Agung (MA) menganulir putusan PT Bali dan memperkuat putusan PN Denpasar.Sedangkan kasasi I Ketut Sudikerta melalui kuasa hukumnya Suryatin Lijaya,SH  hingga kini belum turun putusanya.      

Keenam Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi (PT) Bali  bergelar Doktor adalah  Dr. Lilik Mulyadi,SH.MH, Dr.Ifa Sadewi,SH,M.Hum, Dr.Djaniko MH, Dr. Girsang,SH,MH dan Pujiastuti Handayani,SH,MH dan terbaru  Dr.H. Sumpeno,SH,MH.

Khusus untuk Dr. H.Sumpeno,SH.MH,  Sabtu, tanggal 29 Agustus 2020, jam 09.00 WIB bertempat di Aula Serba Guna Lantai 5 Gedung Perkuliahan Universitas Trisakti di Komplek Perkantoran Menara Anugrah  Taman E3.3 Jln. Mega Kuningan Barat No. 7 Jakarta Selatan.

 Sumpeno Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Denpasar telah mempertahankan Disertasinya yang berjudul “KEPASTIAN HUKUM PUTUSAN PERADILAN PERDATA TERHADAP PUTUSAN YANG MEMUAT KONTEN NON EXECUTABLE. Di hadapan penguji yang dipimpin oleh Prof. Dr. Eriyantauw, SH., MH. yang juga selaku Ketua Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Sumpeno mengatakan bahwa Eksekusi perkara perdata yang gagal dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri disebabkan salah satunya adalah karena amar putusan hakim yang saling tumpah tindih, selama ini belum diatur di peraturan perundangan.

Pada sesi Tanya jawab dengan dewan penguji  berlangsung selama 1 jam itu, Sumpeno mengusulkan untuk mengisi kekosongan hukum agar Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) yang mengatur mengenai Tata Cara Pengajuan Gugatan Kembali Atas Putusan Yang Non Executable, yang bisa dijadikan sebagai pedoman bagi para hakim di 4 (empat) lingkungan badan peradilan.

Lebih lanjut Sumpeno mengatakan dalam Perma tersebut bisa diatur misalnya, perkara gugatan kembali tersebut diperiksa oleh hakim tunggal dan dilakukan oleh hakim yang menangani perkara semula (jika belum mutasi), waktu penyelesaiannya 30 hari sejak sidang pertama, kepada pihak yang kalah dalam gugatan kembali tersebut, tidak disediakan upaya hukum, dsb.

 Dalam pandangan Sumpeno selama ini masih banyak ditemukan pendapat hakim yang mengatakan bahwa urusan eksekusi adalah urusan Ketua Pengadilan Negeri, bukan  urusan hakim pemutus perkara. Sumpeno menghendaki agar ke depan hakim pemeriksa perkara harus progresif, harus paripurna artinya hakim juga harus mengemban nama lembaga, jika sudah terlihat sejak awal bahwa jika gugatan dikabulkan amar putusannya tidak akan bisa dieksekusi, maka sebaiknya gugatan dinyatakan tidak dapat diterima (Niet ontvankelijke verklaard), jangan menunggu sampai inkracht, karena bisa memakan waktu, biaya dan tenaga yang tidak sedikit.

 “Orang ke pengadilan adalah untuk mencari keadilan, karena itu sangat efektif jika ketika gugatannya sudah terlihat error sejak awal, maka disegerakan untuk dinyatakan tidak dapat diterima (Niet ontvankelijke verklaard). Dengan demikian asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan sebagaimana diamanatkan dalam UU Kekuasaan Kehakiman (UU No. 48 tahun 2009) dapat terwujud. Itu salah satu cara untuk mengurangi putusan yang non executable (tidak bisa dilaksanakan), mungkin cara lain juga ada, tetapi itu tidak saya teliti, “ pungkasnya.

Sidang berlangsung dengan hikmat karena menurut aturan di Universitas Trisakti terkait masa pandemic/covid-19 ini hanya boleh dhadiri 10 orang pengunjung. Hadir dalam sidang terbuka tersebut Handri Anik Effendi, (istri), keluarga yang lain, Zaid Umar Bobsaid (Ketua PT Denpasar) dan jajarannya serta Agus Salim hakim Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

 Selain itu hadir istri Sumpeno ,wakil Ketua KPK Nawawi Pamolongo,Dewan Pengawas KPK Albertina Ho,Dr.Reda Manthovani,Kepala Biro Perencanaan  Kajaksaan Agung RI.(Simon).

katabali

Kami merupakan situs portal online

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *