Kritik YLPK Bali, Biaya Top E-Money, Konsumen Dirugikan

KataBali.com – Denpasar -Demi efisiensi pelayanan dan bahkan keamanan dalam bertransaksi, upaya mewujudkan transaksi non cash adalah sebuah keniscayaan. Cashless society adalah sejalan dengan fenomena ekonomi digital. Sebuah peradaban yang susah dibendung lagi urgensinya.
Namun, menjadi kontra produktif jika Bank Indonesia (BI) justru mengeluarkan peraturan bahwa konsumen dikenakan biaya top up pada setiap uang elektroniknya, e-money secara filosofis apa yang dilakukan BI justru bertentangan dengan upaya mewujudkan cashless society tersebut.
Menurut Direktur Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Bali  I Putu Armaya. SH, dengan cashless society sektor perbankan lebih diuntungkan, daripada konsumen. Perbankan menerima uang dimuka, sementara transaksi/pembelian belum dilakukan konsumen.
“Sungguh tidak fair dan tidak pantas jika konsumen justru diberikan disinsentif berupa biaya top up,” kata Armaya.
Justru dengan model e-money itulah konsumen layak mendapatkan insentif, bukan disinsentif dan pengenaan biaya top up hanya bisa ditoleransi jika konsumen menggunakan bank berbeda dengan e-money yang digunakan. Selebihnya no way harus ditolak, lanjut Putu Armaya kepada KataBali.com.
Dan tidak pantas pula jika sektor perbankan dalam menggali pendapatan lebih mengandalkan ‘uang recehan’  kata Armaya yang juga seorang lawyer ini.
“Seharusnya keuntungan bank berbasis dari modal uang yang diputarnya dari sistem pinjam meminjam, bukan mencatut transaksi recehan dengan mengenakan biaya top! Apalagi banyak pengguna e-money dari kalangan menengah bawah, ” kata Armaya.
YLPK Bali,  mendesak Bank Indonesia untuk membatalkan peraturan tersebut untuk melindungi konsumen atau minimal ada ruang sosialisasi kepada konsumen pungkasnya.

 

katabali

Kami merupakan situs portal online

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *