Bupati Lombok Barat Ajukan PK, Minta Bebas karena Nilai Hakim Khilaf Jatuhkan Vonis
KataBali.com -Tak puas dengan putusan banding Pengadilan Tinggi (PT) Denpasar yang mengganjar dirinya dengan 7 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 2 bulan atas kasus pemerasan terhadap Pemilik PT Djaja Business Grup Putu Djaja senilai Rp 1,4 miliar, Bupati Non Aktif Lombok Barat Dr H Zaini Arony, Rabu (19/4) mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) ke Pengadilan Tipikor Denpasar.
Pada sidang pengajuan permohonan PK kemarin, Zaini selaku pemohon PK tak bisa hadir di persidangan. Namun begitu, Zaini mengkuasakan kepada penasehat hukumnya Usep syarif Hidayat. Sedangkan tim jaksa dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai pihak termohon PK diwakilkan oleh Kiki Ahmadyani, dan Sri Kuncoro. Di persidangan pemohon dan termohon PK dihadapan majelis hakim Tipikor Ni Made Sukareni (ketua), dan dua hakim anggota Wayan Sukanila dan Miftahul menyetujui jika alasan pengajuan PK tidak dibacakan. Pemohon pun hanya mengajukan sejumlah bukti. Bahkan atas ketidakhadiran Zaini di persidangan sempat dipertanyakan tim Jaksa KPK dan hakim, akan tetapi dengan mengacu Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2016, permohonan PK oleh terpidana Zaini yang saat ini sedang menjalani hukuman di Lapas Mataram kepada penasehat hukumnya Usep syarif Hidayat akhirnya diterima. “Jika mengacu SEMA Nomor 1 tahun 2012 memang tidak boleh, dan wajib memghadirkan terpidana. Jika tidak hadir maka permohonan dianggap batal. Tapi ada SEMA Nomor 4/2016 dibolehkan,”terang Usep.
Atas penjelasan itu, dua pihak (pemohon dan termohon PK) yang menyatakan tidak akan mengajukan saksi dan hanya mengajukan PK disertai beberapa bukti yang terangkum dalam berkas PK. Sidang pun oleh ketua majelis hakim dinyatakan untuk dilanjutkan pada Jumat (28/4) mendatang dengan agenda jawaban dari termohon menanggapi PK Pemohon.
Sementara itu, usai sidang kuasa terpidana Zaini Arony, Usep syarif Hidayat menyatakan, alasan permohonan PK oleh terpidana karena ia menilai, pada putusan di Pengadilan Tipikor dan PT Denpasar yang terbukti adalah kasus pemerasan tanah serta mobil. Sedangkan pemerasan uangnya tidak terbukti. ” Adanya tindak pemerasan uang 400 juta baik dalam putusan Pengadilan Tipikor maupun PT Denpasar tidak terbukti. Termasuk cincin, jam rolex dan lain juga tidak terbukti. Dalam putusan, yang terbukti hanya pemerasan tanah dan mobil,” jelasnya.
Sehingga dengan dasar itu, lanjut Usep, pihaknya menilai hakim ( Pengadilan Tipikor maupun PT Denpasar) khilaf dalam menjatuhkan putusan bagi kliennya.”Majelis hakim khilaf dalam menjatuhkan putusan,”tandasnya.
Untuk itu, dengan kekhilafan hakim, ia berharap Zaini bisa bebas.”Sekali lagi ini hanya kehilafan hakim, tidak ada persoalan lain,” tegasnya.
Selain itu, kasus tanah yang menjerat kliennya itu, Usep menjelaskan, jika kasus berawal ketika Sofian (saksi) memberikan tanah kepada keponakan terpidana Zaini. “Itu jual beli, dan tanah ini sebenarnya tanah orang lain yang dijual tapi tidak pernah terjadi. Tanah ini milik Lalu Sunandar. Sofian jual tanah milik Lalu Sunandar yang tinggal di Malaysia. Dia jual beli dengan membawa orang, yang mirip Lalu Sunandar sesuai KTP. Memang terjadi jual beli tanahnya, tapi tidak sampai ke Pak Zaini dan keponakannya,” bebernya.
Termasuk soal barang bukti dan saksi, kata Usep, tidak ada barang bukti atau saksi yang menyatakan kliennya memerintahkan tanah itu atas nama keponakannya. Hanya dikatakan Usep, ada saksi pelapor. “Saksi pelapor (Darmawan) menyatakan, bahwa Pak Zaini meminta, tapi kan tidak ada saksi. Pelapor hanya satu orang, dan satu saksi alat bukti jelas tidak sah. Itu yang kami jadikan celah,” tuturnya.
Termasuk soal mobil, Usep berdalih, sejak awal ada di kantor DPD Partai Golkar dan tidak pernah ada di rumah Zaini yang menjabat sebagai ketua DPD Golkar. “Yang menjadi persoalan, satu mobil itu atas nama keponakan Pak Zaini. Tapi tidak ada yang memerintahkan, mobil itu atas nama keponakan Pak Zaini. Hanya kepala dinas yang memerintahkan, dan yang menerima mobil pertama kali di Pelabuhan Lembar, Lombok,” ungkap Usep.
Bagaimana dengan putusan PN Mataram?,Ditanya demikian, Usep menjelaskam bahwa PN telah memvonis Sofian dengan pidana empat bulan penjara. Namun, Sofian sendiri tidak menjalani pidana karena telah meninggal dunia. “Tanah yang dibilang diperas oleh Zaini ini tidak pernah terjadi jual beli. Adapun terjadi jual beli, itu sudah diputus empat bulan. Karena uang Putu Djaja sudah dikembalikan lewat Gede Mayun sebesar Rp 300an juta. Dan itu ada buktinya. Putusan PN Mataram ini yang kami jadikan bukti di novum PK. Kapan Pak Zaini meras orang. Itu tidak terjadi,” tegasnya.
“Bukti lain yang diserahkan dan dilampirkan dalam PK adalah bukti bahwa Gede Mayun, tangan kanan Putu Djaja telah menerima pengembalian uang dari Sopian Rp 300-an juta,”tambahnya.
Pun saat ditanya apakah pihaknya akan melakukan laporan. Usep menyatakan berencana melaporkan saksi pelapor (Darmawan). “Yang saya lapor bukan Putu Djaja tapi Darmawan. Putu Djaja dan Gede Mayun justru ditipu oleh Darmawan. Darmawan dalam kasus ini berperan sebagai pelapor. Dia yang mengompori Putu Djaja. Darmawan ini calo tanah dan punya LSM namanya Gerakan Anti Korupsi (Gertasi). Dia juga DPO dan sudah ditangkap di Bali,” terang Usep.
Sebagaimana diketahui sebelumnya, H Zaini Arony divonis pidana penjara 4 tahun oleh hakim Pengadilan Tipikor Denpasar, karena terlibat kasus pemerasan terhadap Putu Djaja (Jaya, Red) selaku pemilik PT Djaja Business Group terkait ijin pengembangan daerah wisata di Sekotong, Lombok Barat. Atas putusan itu, baik terpidana maupun jaksa sama-sama mengajukan banding. Pada saat banding di PT Denpasar, hukuman Zaini justru naik menjadi 7 tahun. Selain hukuman penjara, ia juga dikenakan denda Rp 500 juta subsider 2 bulan.(jcjy)