Hari Raya Nyepi “Trending Topic” di World Culture Forum 2016

KataBali.com – Hari raya Nyepi merupakan salah satu kebudayaan masyarakat Hindu yang dimaknai  sebagai perayaan Tahun  Baru Saka  yang dilaksanakan dengan  Catur Brata Penyepian yaitu Amati Geni (tidak menyalakan api), Amati Lelanguan (tidak berkegiatan), Amati Karya (tidak bekerja) dan Amati Lelungan (tidak bepergian) yang membuat Bali menjadi satu-satunya di dunia yang mampu mengistirahatkan bumi sehari penuh secara total. Keunikan ini telah mencuri perhatian dunia internasional dengan dijadikannya Hari Nyepi sebagai trending topic pada pembukaan World Culture Forum (WCF) 2016 yang berlangsung di BNDCC,Nusa Dua-Badung, Kamis kemarin (13/10).

 

Menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Muhadjir Effendy,  Nyepi memberikan jeda pada hiruk-pikuk kehidupan material. Dengan dihentikannya semua aktivitas duniawi, Nyepi memberikan ruang bagi Bali untuk slowing down. Selain dari penghormatan terhadap ritual agama dan budaya, Nyepi pun memberikan efek terhadap penghematan sumber daya.

 

Dengan multiflayer efek yang ditimbulkan oleh Nyepi, maka diharapkan dapat menjadi inspirasi negara-negara di dunia untuk melakukan hal yang sama. “Walaupun tidak satu hari penuh, satu menitpun akan sangat memberi efek yang luar biasa pada bumi”, ujarnya.

 

Pelaksanaan World Culture Forum 2016 yang dihadiri sekitar 1500 peserta dari 65 negara ini diharapkan  menghasilkan komitmen yang lebih mendalam, untuk lebih sungguh-sungguh memperhatikan keanekaragaman budaya, agar pusat-pusat pembangunan menjadi lebih inklusif.

 

Karena itu, pada World Culture Forum 2016, membahas enam tema budaya, yaitu: kebudayaan dan pembangunan desa, air bagi kehidupan, kebudayaan dan dinamika perkotaan, kebudayaan dan dunia digital, perbedaan budaya lintas komunitas dan kelas, serta kaitan kebudayaan dan pembangunan yang bertanggungjawab.

 

Tema-tema tersebut  terinspirasi oleh kearifan lokal Bali, yaitu desa, kala, dan patra, yang tergabung dalam filosofi Tri Pramana, atau tiga ukuran, three measures atau lebih tepatnya three proportions.

 

Proporsi yang seimbang antara desa atau topos, kala atau chronos, serta patraatau logos merupakan sebuah cita-cita. Topos merujuk pada konteks lingkungan sekitar. Chronos mengacu pada kekhasan sejarah dari sebuah masyarakat. Sedangkan logos adalah wacana atau permufakatan bersama yang berkembang di tengah masyarakat. Kesatuan ritmis antara aspek topos, chronos dan logos lah yang menjamin kesuksesan pembangunan yang berkelanjutan. Dengan hadirnya Sustainable Development Goals yang menjunjung kebudayaan, merupakan waktu  untuk bekerja, berdiskusi dan berpikir, untuk menyelaraskan irama kebudayaan dan irama pembangunan.

 

Rangkain kegiatan WCF 2016 yang telah berlangsung dari tanggal 10 Oktober ini diisi dengan simposium yang dibawakan oleh 19 pembicara, 6 pembahas, dan 6 moderator untuk masing-masing simposium. Selain itu, juga dilaksanakan acara pendukung seperti kunjungan budaya ke Subak di Jatiluwih dan Rumah Topeng, kegiatan karnaval budaya dan tari di Lapangan Puputan Badung, kegiatan International Youth Forum yang diikuti oleh 153 peserta pemuda dari 35 negara di dunia, serta kegiatan Internasional Folk Dance Festival yang diikuti oleh 351 orang peserta dari 13 negara.

 

Acara yang dibuka oleh Presiden Kelima Republik Indonesia Megawati Soekarno Putri, juga dihadiri oleh Menteri bidang kebudayaan, Pejabat Negara di dalam dan luar negeri, Forum Koordinasi Pimpinan Daerah di Lingkungan Provinsi Bali, para penentu dan pengambil kebijakan, seniman lokal dan internasional, praktisi pembangunan dan budaya, organisasi internasional, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), kalangan anak muda dan akademisi, dan berbagai pihak lainnya dalam bidang kebudayaan.(JCHBl)

 

katabali

Kami merupakan situs portal online

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *