PHDI: Tak Boleh Kaku Terapkan Zonasi Tempat Suci
Katabali.com – Ketua PHDI Bali Ngurah Sudiana mengatakan Perda APZ zonasi untuk radius kawasan tempat suci tidak boleh diterapkan secara kaku. Jarak yang diatur harus tetap mutlak, sesuai radius kesucian pura seperti yang diatur dalam Bhisama.
Hanya saja, adanya bangunan pemukiman masyarakat, pengempon dan penyungsung dipertimbangkan untuk tidak menerapkan aturan secara kaku.
“Penerapan aturan zona kita tidak kaku lagi,kalau diterapkan kaku, tidak ada yang menjaga pura kita dan nanti banyak kemalingan kalau pengempon dan penyungsung tinggalnya jauh dari pura,” ujarnya.
Dijelaskannya dalam setiap pura baik Sad Kahyangan maupun Dang Kahyangan di masing-masing wilayah tentunya berbeda-beda, seperti di Pura Pesering Jagat tidak sama penerapannya dengan di Batukaru. Menurut
dia, pada zona inti hanya dapat dimanfaatkan untuk hutan rakyat, pertanian, ruang terbuka hijau, kegiatan penunjang keagamaan.
Bangunan yang bisa dibangun hanya rumah pemangku yang menjaga pura, cagar budaya yang telah ada dan pemukiman warga.
Pada zona penyangga bisa dimanfaatkan untuk hutan rakyat, pertanian, ruang terbuka hijau dan fasilitas ‘Darma Sala’ yakni fasilitas penunjang kegiatan keagamaan.
“Yang dilarang adalah kegiatan hiburan malam,” katanya.
Ia melanjutkan, bangunan-bangunan yang sudah ada termasuk hotel dan vila hendakna ditata kembali.
Jangan sampai menghancurkan yang sudah ada akan tetapi melakukan penataan yang sudah ada. Jadi penataan itu tidak bersifat kaku dan fungsinya itu disesuaikan dengan konsep Darma Sala.
Sebagaimana diketahui, sebelumnya Pansus APZ bersama pihak eksekutif telah menyepakati pembagian zona kawasan tempat suci.
Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nomor 16 Tahun 2009 diatur radius kawasan tempat suci untuk Pura Sad Kahyangan sejauh lima kilometer dari batas tembok pura. Namun dalam Raperda APZ, radius lima kilometer itu dibagi dalam tiga zona.
Zona inti sepanjang 40 persen dari radius 5 km. Zona ini steril dari bangunan komersial maupun rumah warga.
Bila ada bangunan, itu hanya fasilitas pendukung pura, seperti bangunan wantilan. Dengan mengacu pada Raperda APZ itu, hanya sepanjang radius dua kilometer yang steril dari bangunan komersial maupun perumahan warga.
Adapun zona penyangga diatur sejauh 30 persen dari radius 5 kilometer, atau sejauh 1,5 km di luar radius zona inti.
Pada zona penyangga ini diizinkan untuk bangun rumah pengempon (penyungsung) pura. Menurut Kadek Diana, konsep pembangunan pura di Bali, yakni ada pura dan ada juga pengempon pura yang letak rumahnya tidak jauh dari pura tersebut.
Sementara zona pemanfaatan, sejauh 30 persen dari radius 5 km, atau sepanjang 1,5 km di luar zona inti dan zona penyangga.
Pada zona pemanfaatan bisa dibangun rumah, bangunan komersial, atau pemanfaatan lainya untuk kegiatan sosial ekonomi.
“Adanya zona pemanfaatan karena dalam radius 5 km ada hak-hak (lahan) milik warga sipil. Jika mengacu pada Perda RTRW Nomor 16 Tahun 2009, karena berada dalam radius 5 km, itu tidak bisa dimanfaatkan. Tapi kami (Pansus) dan tim penyusun Raperda APZ dari eksekutif menyepakati adanya zona pemanfaatan itu agar bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan warga,” kata Kadek Diana.
Dikatakan pengaturan zonasi yang sama juga berlaku untuk radius kawasan tempat suci Pura Dang Kayangan dengan radius 2 km, dan Kahyangan Jagad dengan radius 50 meter. Dalam radius itu dibagai dalam tiga zona, yakni 40 persen zona inti, 30 persen zona penyangga dan 30 persen zona pemanfaatan. (tim)