Ketua Dekranasda Bali Sebagai Narsum pada Acara ‘Apa Kabar UMKM Bali’
KataBali.com – Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah Bali (Dekranasda) Provinsi Bali Ny. Putri Suastini Koster tampil menjadi pembicara pada acara Apa Kabar UMKM Bali (AKU BALI) yang disiarkan secara langsung dari studio TVRI Bali, Kamis (15/9/2022). Talkshow yang mengusung tema ‘Melestarikan Warisan Tenun Songket Bali’ itu juga menghadirkan perajin tenun Ni Wayan Astini dan Ketut Darmawan.
Mengawali paparannya, Ketua Dekranasda Bali, Ny. Putri Koster menyampaikan komitmennya dalam pelestarian kain tenun tradisional Bali. Sejak awal mengemban tugas sebagai Ketua Dekranasda Bali, ia gencar menyerap aspirasi guna memetakan persoalan yang dihadapi oleh perajin kain tenun tradisional, khususnya endek dan songket. Dari hasil penelusurannya, ia mendapati persoalan serius yang dihadapi kain endek dan songket. Endek karya perajin lokal terdesak oleh kain serupa yang diproduksi secara massal di luar Bali. Sementara songket harus berhadapan dengan produsen kain bordir yang menjiplak motif kain khas tradisional Bali tersebut. “Khusus bicara tentang kain songket, di lapangan banyak kita temukan produk yang menyerupai songket Bali. Tapi setelah kita pegang, ternyata itu kain bordir. Bordirnya juga bukan lagi yang konvensional, tapi sudah menggunakan mesin berteknologi canggih,” ujarnya.
Sejalan dengan makin canggihnya teknologi, menurutnya kualitas kain yang dihasilkan makin menyerupai songket. Menurutnya situasi ini tak boleh dibiarkan karena menjadi ancaman serius bagi kain songket. “Ini ancaman besar, ibu berpikir jauh ke depan. Jika tak diantisipasi, 10 tahun, 15 tahun atau mungkin 50 tahun lagi, Bali akan kehilangan salah satu warisan leluhur yang begitu adiluhung yaitu kain songket,” bebernya. Ancaman itu sangat masuk akal karena kain bordir motif songket berkualitas makin baik dijual dengan harga jauh lebih murah dari songket asli. Yang dikhawatirkan, konsumen akan lebih memilih kain bordir motif songket sehingga kain tenun asli tidak laku, penenun jadi tidak sejahtera dan mereka berhenti menenun. “Jika ini terjadi, tak akan ada lagi regenerasi kegiatan menenun,” ungkapnya.
Sebelum terlambat, Ny. Putri Koster ingin menumbuhkan kesadaran bersama tentang pentingnya pelestarian budaya. “Yang penting untuk dilestarikan bukan hanya alam, namun juga warisan budaya berupa kain tenun tradisional,” ujarnya. Untuk menumbuhkan kesadaran dalam pelestarian kain tenun tradisional, utamanya songket, ia gencar melakukan edukasi dari hulu ke hilir. Di hulu, Dekranasda Bali mendorong adanya perlindungan hak kekayaan terhadap kain songket. Difasilitasi oleh Disperindag Bali dan mendapat dukungan penuh dari Gubernur Wayan Koster, kain songket Bali telah memiliki surat pencatatan Kekayaan Intelektual Komunal (KIK). Menurutnya, pencatatan KIK ini akan menjadi landasan dalam melakukan sosialisasi dan edukasi. Kalau sebelumnya, ia hanya menghimbau dan mengajak semua pihak berperan aktif dalam upaya pelestarian. “Dengan adanya hak kekayaan komunal, ini menjadi landasan yang kuat untuk melakukan edukasi. Sebelumnya kan ibu hanya bisa bilang, jangan gini dong,” imbuhnya.
Selain memudahkan dalam melakukan edukasi, KIK yang dikantongi kain songket akan mempersempit ruang gerak pihak-pihak yang melakukan tindakan mengancam pelestarian songket. “Setidaknya mereka akan lebih berhati-hati, tak bebas seperti sebelumnya dalam memperlakukan motif kain ini,” cetusnya.
Ke depan, edukasi akan diarahkan pada upaya mengingatkan produsen kain bordir agar tak lagi menjiplak motif songket yang dibuat dengan susah payah. Ditambahkan oleh Putri Koster, inovasi dalam produksi kain dengan memanfaatkan kemajuan teknologi itu sah-sah saja. Namun demikian, inovasi yang dilakukan jangan sampai mematikan yang lain. “Istilahnya mencari untung tak bikin orang lain buntung,” tandasnya. Untuk itu, produsen kain bordir diminta menciptakan motif sendiri dan tidak lagi menjiplak motif tenun songket.
Selain di tingkat produsen, perempuan yang akrab disapa Bunda Putri ini juga gencar melakukan sosialisasi di level penjual. Ia senantiasa mengingatkan agar penjual tak memasarkan kain bordir yang menjiplak motif songket. Selanjutnya di tingkat konsumen, ia mendorong tumbuhnya kesadaran untuk mengambil peran aktif dalam upaya pelestarian kain tenun tradisional dengan lebih menghargai karya perajin lokal. Sebagai jalan tengah, Bunda Putri gencar mengkampanyekan slogan ‘Produk Berkualitas dengan Harga Pantas’. Artinya, perajin diedukasi untuk mematok keuntungan 25 persen dari biaya produksi. Dengan demikian, harga produk tak akan mencekik konsumen sehingga mereka tertarik untuk membeli.