Parisada Hindu Dharma Indonesia – MDA Bali Batasi dan Larang Ritual Sampradaya di Wewidangan DA
KataBali.com – Denpasar – Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) dan Majelis Desa Adat (MDA) Bali mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) membatasi kegiatan pengembanan ajaran Sampradaya non-dresta Bali.
SKB yang ditetapkan kedua lembaga tersebut, yang sudah mulai berlaku Rabu (16/12), berdasarkan berbagai pertimbangan diantaranya, bahwa adanya sebagian sampradaya non-dresta Bali.
Keputusan SKB ditandatangani Ketua PHDI Bali, I Gusti Ngurah Sudiana dan Bendesa Agung MDA. Provinsi Bali, Ida Pangelingsir Agung Putra Sukahet.
Dibacakan Bendesa Agung MDA Bali Sukahet ketika menggelar press conference kepada awak media di Denpasar, Rabu (16/12).
Pada kesempatan itu, hadir Sekretaris PHDI Bali Putu Wirata Dwikora dan Penyarikan Agung MDA Bali, Ketut Sumarta.
Sukahet juga menyatakan, masyarakat berkewajiban berperan aktif membantu pelaksanaan KB ini, dalam rangka menjaga kerukunan, kedamaian, dan ketertiban kehidupan beragama Hindu di Bali.
Menurutnya, pengembanan ajarannya selama ini telah menimbulkan keresahan dan protes dari masyarakat sehingga sangat mengganggu kerukunan, kedamaian, dan ketertiban kehidupan beragama Hindu di Bali yang telah terbangun selama berabad-abad berdasarkan adat, tradisi, seni dan budaya, serta kearifan lokal dresta Bali.
Delapan poin dari SKB tersebut diantaranya: sampradaya non-dresta Bali merupakan organisasi dan/ atau perkumpulan yang mengemban paham, ajaran, dan praktek ritual yang tata pelaksanaannya tidak sesuai dengan adat, tradisi, seni dan budaya, serta kearifan lokal dresta Bali.
Untuk menjaga kerukunan, kedamaian, dan ketertiban kehidupan beragama Hindu serta pelaksanaan kegiatan pengembangan ajaran sampradaya non-dresta Bali, maka ada 4 (empat) tugas, PHDI Kabupaten/ Kota, Kecamatan, dan Desa/ Kelurahan se-Bali untuk secara bersama-sama, diantaranya: melarang sampradaya non-dresta Bali di Bali menggunakan Pura dan wewidangannya, tempat-tempat umum/ fasilitas publik, seperti jalan, pantai, lapangan untuk
melaksanakan kegiatannya, dan melakukan pengawasan, pemantauan dan evaluasi terhadap keberadaan sampradaya non-dresta Bali di Bali, dalam pengembangan ajarannya.
Sementara MDA Kabupaten/ Kota dan Kecamatan beserta Prajuru Desa Adat se-Bali, ada 7 (tujuh) hal yang dilaksanakan secara bersama-sama, diantaranya: pelarangan kegiatan ritual sampradaya non-dresta Bali di Wewidangan Desa Adat (DA) yang bertentangan dengan Sukreta Tata Parahyangan, Awig-Awig, Pararem dan/ atau Dresta Desa Adat masing-masing; SKB itu juga menyebutkan 6 larangan bagi para penganut, anggota, pengurus dan / atau simpatisan sampradaya non-dresta Bali di Bali di dalam mengemban atau melaksanakan cita-cita dan kewajiban ajarannya diantaranya: dilarang melakukan penafsiran terhadap ajaran dan tatanan pelaksanaan ajaran agama Hindu di Bali, dilarang mengajak dan/ atau mempengaruhi orang lain untuk mengikuti ajaran sampradaya non-dresta Bali;
Kepada penganut, anggota, pengurus dan/ atau simpatisan Hare Krishna/ International Society Krishna Consciousness (ISKCON) beserta organisasinya di Bali sebagai bagian dari sampradaya non-dresta Bali, agar sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab menaati Keputusan Bersama (KB) ini dan melaksanakan pernyataan kesanggupan yang telah dibuat dalam mewujudkan kedamaian dan ketertiban kehidupan beragama Hindu di Bali.
Penganut, anggota, pengurus dan/ atau simpatisan sampradaya non-dresta Bali beserta organisasinya di Bali yang tidak menaati KB ini dan/ atau menimbulkan gangguan kerukunan, kedamaian, dan ketertiban kehidupan beragama Hindu di Bali, dapat diberikan sanksi hukum sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan dan atau Hukum Adat di masing-masing DA.