Tekan Inflasi, BI Bali Kembangkan Bawang Putih dan Cabai
KataBali.com – Keberadaan Bank Indonesia untuk memelihara kestabilan nilai Rupiah yang mengandung dua aspek yaitu terhadap harga barang dan jasa tercermin pada tingkat inflasi, serta terhadap mata uang negara lain, tercermin dari nilai tukar Rupiah.
Di sisi inflasi, salah satu komponen pembentuknya dari harga barang-barang komoditas pangan/volatile food, uumnya hasil pertanian/peternakan. Untuk itu Bank Indonesia berinisiatif turut memberikan perhatian upaya Pemerintah pengembangan pertanian ,untuk menjaga ketersediaan pasokan bahan pangan.
Selain bertujuan untuk menjaga pasokan, sejumlah produk pertanian juga berpotensi dapat menjadi sumber penyokong cadangan devisa, apabila terdapat ketergantungan impor atas komoditas tersebut. Di Bali, Kantor Perwakilan Bank Indonesia mengembangkan 13 klaster pertanian terdiri dari komoditas beras, cabai, peternakan sapi, bawang merah, dan bawang putih yang baru saja dimulai pengembangannya pada tahun 2018.
Khusus bawang putih, BI Bali berhasil mengembangkan proyek percontohan pada lahan seluas 2 ha di Desa Wanagiri Buleleng dengan produktivitas hingga 7,48 ton per ha. Keberhasilan ini tentunya diharapkan menjadi penyemangat bagi petani yang selama ini memiliki kekhawatiran untuk memulai budidaya bawang putih mengingat tingginya komposisi impor dalam pasokan bawang putih hingga mencapai 95% dari kebutuhan sebanyak 400.000 ton secara nasional.
“ Bahkan ironisnya dahulu wilayah Buleleng dikenal sebagai salah satu sentra pengembangan bawang putih di Bali. Kini kelompok tani Manik Pertiwi yang kita bina akan diarahkan kepada penguatan pembenihan bawang putih dalam rangka mengawali upaya pengembangan swasembada bawang putih sejalan dengan target Pemerintah, “ jelas Kepala Bank Indonesia, Wilayah Bali,Causa Imam Karana, disela pisah kenal dengan Deputi Pembinaan Pengembangan Klaster, dari Azka Subhan, ke pejabat baru Sapto Widyatmiko, Rabu ( 9/11) di Sanur, Bali.
Causa akrab dipanggi Pak. Cik ini, menjelaskan, terkait komoditas cabai, pengembangan klaster kami fokuskan selain pengendalian inflasi, juga sarana pemanfaatan lahan marjinal di wilayah Karangasem. Sebelum BI terjun di Desa Ababi untuk pengembangan komoditas cabai,tahun 2017, harga cabai melonjak drastis, penyumbang besar inflasi di Bali selama beberapa bulan saat itu harganya mencapai Rp110.000,- per kg dari normalnya, berkisar Rp15.000,- s.d. Rp20.000,- per kg, karena curah hujan sangat tinggi produktivitas lahan cabai sangat rendah.
“ Saat ini, kelompok Merta Buana yang kami bina berhasil memanen cabai di luar musim tanam (off-season) dan juga bersinergi dengan kelompok pendukung dalam sektor hilirisasi hasil budidaya cabai, “ imbuh Pak. Cik.
Sedangkan,komoditas kakao, pengembangan sedikit berbeda. Jika dalam pengembangan komoditas volatile food menggunakan konsep pengembangan klaster pertanian mensinergikan hulu ke hilir, budidaya kakao di Jembrana, didasarkan identifikasi komoditas unggulan yang mendorong pertumbuhan, “ Konsep yang kami kenalkan sebagai local economic development (LED) mendorong produktivitas petani serta masyarakat mengembangan sektor ekonomi unggulan daerah yang dapat menyokong pertumbuhan,“ jelas Causa.
Kakao di Jembrana salah satu kakao terbaik dunia, selain dari Pantai Gading dan Ghana dan diakui LSM pemerhati kakao dunia, Cocoa of Excellence. Komoditas kakao hasil budidaya Koperasi Kerta Semaya Samaniya, berhasil menembus pasar ekspor hingga ke Perancis (Valrhona) dan Jepang.BI pengembangan klaster LED bersinergi dengan Pemda.setempat,melalui Nota Kesepahaman.Di samping itu, BI berupaya mengarahkan Program sosial BI (CSR )bagi kelompok tani baik berupa bibit pertanian hingga alat mesin pertanian.
“ Kami juga memberikan pendampingan berupa pelatihan budidaya organik,penguatan kelompok/manajemen. Di akhir tahun mempertemukan mereka dengan perusahaan ritel modern serta lembaga keuangan perbankan maupun mikro untuk memperoleh akses permodalan dan akses pasar, “ jelas Causa Iman Karana. (Nn )