Ketua YLKI; Ironi Besar Pemakaian Cukai Rokok Suntik Defisit BPJS Kesehatan
KataBali.com – JAKARTA – Defisit BPJS Kesehatan yang mencapai Rp16,5 Triliun dimana pemerintah berencana menyuntik dengan dana cukai rokok dinilai sebagai langkah yang menyesatkan. Hal itu disampaikan Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi. Ia bahkan melihat, penggunaan cukai rokok menjadi ironi besar.
Meskipun Defisit BPJS Kesehatan terus meninggi. Hingga akhir 2018, diperkirakan mencapai Rp 16,5 triliun namun langkah menutup defisit dengan dana bersumber cukai rokok sebagai hal yang menyesatkan.
Menurutnya, hal ini tidak bisa dilakukan secara serampangan, karena alih alih akan menimbulkan sejumlah ironi yang justru kontra produktif bagi masyarakat dan BPJS Kesehatan itu sendiri.
Misalnya, mengurangi jumlah obat, yang seharusnya untuk satu bulan, menjadi dua minggu saja. Itu yang kelihatan, belum lagi yang tidak kelihatan, boleh jadi pihak rumah sakit mengurangi tindakan medis lain, seperti injeksi, kualitas obat/antibiotik, rontgen dan lainnya.
Melihat fenomena ini, pemerintah berupaya menyelamatkan BPJS Kesehatan dengan menyuntiknya pajak rokok daerah/cukai rokok.
Secara umum mengalokasikan pajak rokok daerah/cukai rokok untuk BPJS bisa dimengerti. Sebab rokok sebagai barang yang terkena cukai, sebagian dana cukainya memang layak dikembalikan untuk penanggulangan/pengobatan penyakit akibat dampak negatif rokok.
Mengobati orang sakit tetapi dengan cara mengeksploitasi warganya untuk tambah sakit. Sebab dengan menggali dana cukai rokok untuk menutup BPJS sama artinya pemerintah menyuruh rakyatnya merokok.
“Sama artinya pemerintah mendorong agar rakyatnya sakit, karena konsumsi rokok,” tegas Tulus dalam rilisnya.
Yang kedua, relevan dengan itu, juga akan menimbulkan paradigma keliru di kalangan masyarakat, bahwa aktivitas merokok diasumsikan sebagai bentuk bantuan pemerintah dan BPJS agar tidak defisit.
“Para perokok merasa sebagai pahlawan tanda jasa. Bahkan Ketua KNPI pun mengajak masyarakat agar terus merokok guna membantu pemerintah. Sebuah ajakan yang sesat pikir,” katanya mengingatkan.
Ironi yang paling tragis adalah manakala upaya tersebut dibarengi dengan menaikkan produksi rokok. Jika fenomena ini terjadi maka artinya pemerintah berharap agar angka kesakitan masyarakat akibat dampak negatif rokok semakin tinggi.
Padahal, data membuktikan bahwa salah satu jenis penyakit yang dominan diderita pesien BPJS adalah penyakit yang disebabkan oleh konsumsi rokok.
Oleh karena itu, agar kebijakan menyuntik BPJS dengan cukai rokok tidak menjadi kebijakan yang menyesatkan bahkan kontra produktif, maka YLKI meminta pemerintah harus menghentikan upaya menaikkan produksi rokok, khususnya dari industri rokok berskala besar.
Pada 2018, produksi rokok nasional diperkirakan mencapai 321,9 miliar batang. Produk sebanyak itu akan masuk ke mulut konsumen Indonesia, dan jadi penyakit. Pemerintah harus berani melakukan moratorium produksi rokok, bahkan menurunkannya.
“Sebab manakala produksi rokok naik, itu sama artinya dengan lonceng kematian kesehatan masyarakat dan lonceng kematian bagian finansial BPJS,” tandasnya.
Kata dia, Financial bleeding akan terus terjadi pada BPJS Kesehatan, jika konsumsi rokok masih menggurita. Dengan kata lain, pemerintah harus berani menurunkan produksi rokok jika ingin menyelamatkan BPJS Kesehatan.
“Pemerintah harus menaikkan cukai rokok secara signifikan. Ruang untuk menaikkan cukai rokok masih terbuka lebar, hingga mencapai 57 persen,” tegas dia.
Sementara cukai rokok saat ini baru mencapai rata-rata 40-an persen. Dengan menaikkan cukai rokok akan menaikkan pendapatan pemerintah, di satu sisi dan di sisi lain akan menurunkan jumlah perokok.
Berapapun harga rokok akan dicari masyarakat, karena efek adiksi dari nikotin yang ada pada rokok.
“Jika Presiden Jokowi tidak melakukan hal tersebut, maka upaya untuk menyelamatkan BPJS Kesehatan dengan cukai rokok hanya menjadi kebijakan yang artifisial, alias sia-sia belaka,” demikian Tulus. (jckn).