Pemkab dan FKPD Tabanan Studi Banding ke Batam
KataBali.com – Dinamika pembangunan di wilayah Batam beserta dampaknya menarik minat Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tabanan untuk dijadikan kajian dan bahan studi. Terutama dampak yang berkaitan dengan ATHG atau Ancaman tantangan Hambatan dan Gangguan.
Karena itu, Senin (5/3), Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Tabanan menggelar studi banding ke Pemerintah Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau untuk mengetahui startegi apa yang diterapkan dalam menghadapi dan mencegah ATHG.
Studi banding ini melibatkan Tim Pengamanan dan Pengendali Daerah yang meliputi Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (FKPD) dan sejumlah organisasi perangkat daerah (OPD) terkait.
Studi banding ini dipimpin langsung oleh Bupati Tabanan Ni Putu Eka Wiryastuti. Kemudian hadir juga Wakil Bupati Tabanan I Komang Gede Sanjaya, Sekda Kabupaten Tabanan I Nyoman Wirna Ariwangsa, Asisten Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat I Wayan Yatnanadi, Kepala Kesbangpol Tabanan I GN Suryana dan jajarannya, serta Kabag Humas dan Protokol Setda Kabupaten Tabanan I Putu Dian Setiawan.
Sementara dari FKPD di antaranya Kapolres Tabanan AKBP Marsdianto, Dandim 1619/Tabanan Letkol Inf Hasan Abdullah, Kajari Tabanan Ni Wayan Sinaryati, dan Kepala Pengadilan Negeri Tabanan I Wayan Gede Rumega. Sedangkan dari DPRD Kabupaten Tabanan tampak dua wakil ketuanya Ni Nengah Sri Labantari dan Ni Made Meliani.
Rombongan tersebut diterima langsung Wakil Wali Kota Batam Amsakar Achmad beserta jajarannya.
Dalam pengantar di awal studi banding, Bupati Eka menyatakan bahwa dinamika pembangunan di Tabanan terus berkembang dari waktu ke waktu akibat dipengaruhi berbagai faktor.
Perkembangan tersebut tidak lepas dari posisi Tabanan yang telah beralih menjadi kawasan penyangga sekaligus daerah pariwisata yang tiap saat berkembang. Selain di masa awalnya, Tabanan merupakan kawasan agraris yang menyuplai kebutuhan pangan di tingkat provinsi.
“Tentunya kami ingin tahu bagaimana FKPD di Kota Batam ini bisa bersinergi dalam menghadapi berbagai dampak dari dinamika pembangunan yang terjadi setiap saat. Terutama dalam menjaga stabilitas keamanan untuk kelancaran jalannya pembangunan,” ujar Bupati Eka.
Menurutnya, dinamika pembangunan hampir setiap wilayah merasakan dampaknya. Dan, Batam dipilih sebagai tempat studi banding karena melihat sejarahnya yang cukup panjang dan posisinya yang hampir sama dengan Tabanan sebagai daerah penyangga.
“Selama ini Tabanan sudah dikenal sebagai daerah pertanian. Tapi di sisi lain, Tabanan sekarang ini sudah menjadi kawasan penyangga juga. Selain itu, beberapa titik pariwisata juga ada di Tabanan seperti Tanah Lot, Bedugul, dan yang terbaru kawasan warisan budaya dunia Jatiluwih,” bebernya.
Dengan posisinya seperti itu, tantangan yang dihadapi Tabanan sejatinya tidak ringan. Dari sisi stabilitas keamanan, Tabanan berada di jalur lalu lintas nasional yang menjadi jalan utama migrasi penduduk dan barang.
Kemudian, Tabanan juga berkepentingan dalam menjaga kelestarian alam, khususnya yang berkaitan dengan eksistensi persawahan.
Sementara dari sisi ekonomi, Tabanan juga ingin mengembangkan perekonomian dengan merencanakan sebuah zona industri yang basisnya tetap mengakar pada sektor pertanian.
“Kami ingin juga punya zona industri yang sesuai dengan kondisi geografis kami, wilayah pertanian. Misalnya saja, tempat pembuatan berbagai industri yang bahan bakunya dari produk-produk pertanian,” ujar Bupati Eka mengilustrasikan.
Menjawab pertanyaan utama dari Bupati Eka tersebut, Wakil Wali Kota Batam
Amsakar Achmad secara sepintas mengawalinya dengan sejarah eksistensi wilayah yang secara administratif tergabung dalam Provinsi Kepuluan Riau ini. Dalam paparannya tersebut, Batam telah didesain sejak lima dasawarsa lalu.
“Hanya saja ada yang terbalik di Batam ini. Di daerah ini justru yang terbentuk pertama kalinya adalah Badan Otorita Batam yang kini berganti nama menjadi Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas atau disingkat BP Batam. Baru setelah itu dibentuk pemerintah kota administratif,” jelasnya.
Sejak awal, Batam juga dirancang untuk mengambil manfaat dari perkembangan pembangunan negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Namun, dalam perjalanannya sampai dengan saat ini, Pemerintah Kota Batam yang terhitung masih muda tidak sedikit menghadapi persoalan krusial.
“Salah satunya soal kependudukan. Di awal, jumlah penduduk hanya enam ribu jiwa. Tapi kini sudah berkembang menjadi 1,2 juta jiwa. Hal ini tidak diantisipasi sebelumnya,” ujarnya.
Perkembangan jumlah penduduk yang tidak terantisipasi itu di sisi lain membawa dampak berupa ketersediaan lahan. Sehingga dalam hal penyediaan fasilitas umum bagi masyarakat, pemerintah setempat sering kewalahan karena kerap menjalani negosiasi yang alot.
“Di sini, kami tidak mudah memiliki lahan. Kalau kita di sini, untuk mendapatkan HPL (Hak Penggunaan Lahan) diajukan ke BP Batam. Sehingga kami mau memekarkan kecamatan dan desa juga tidak mudah. Sering hubungan kami dengan BP Batam panas dingin. Di beberapa hal kami harus saling berhadap-hadapan,” ungkapnya.
Memang, sambung dia, di awal 2016 lalu Presiden Joko Widodo meminta status FTZ atau Free Trade Zone dijadikan Kawasan Ekonomi Khusus atau KEK. Namun, sampai sejauh ini belum ada kejelasan ujungnya. Pihaknya sendiri telah mengajukan rancangan ke Kementerian Koordinator Perekonomian dengan mengajukan 36 kawasan perindustrian. Dengan harapan tidak ada benturan lagi dengan BP Batam.
“Bandara dan pelabuhan internasional silahkan diambil saudara tua kami (BP Batam). Tapi untuk wilayah pemukiman, khususnya yang berkaitan dengan fasum, kami yang menyelenggarakannya. Karena sesuai Undang Undang Nomor 23 tahuan 2014 penyelenggaraannya adalah pemerintah,” paparnya.
Terlepas dari itu, pihaknya selalu berusaha mengedepankan kerja sama dengan berbagai pihak untuk menjaga keamanan wilayah dari ATHG. Terutama dengan FKPD baik dari tingkat provinsi sampai dengan kota. Koordinasi ini setidaknya mampu menekan aksi-aksi kejahatan baik yang berskala lokal, nasional, sampai dengan internasional seperti yang baru-baru ini terjadi yakni penyelundupan narkotika jenis sabu dalam jumlah besar.
“Terakhir sampai tiga ton. Syukurnya, sejauh ini kami masih bisa menyatukan langkah bersama FKPD. Koodinasi dengan provinsi menyatu. Satu atau dua bulan sekali kami diskusi dalam rapat di tingkat FKPD,” tandasnya.
Menurutnya, koordinasi yang baik dengan FKPD menjadi kunci utama untuk menyelaraskan pembangunan di kawasan Batam. “Syukurnya, semua pihak, baik dari provinsi sampai dengan kota sepakat bahwa Batam adalah aset yang wajib dijaga,” imbuhnya.
Hal
lainnya yang tidak kalah penting untuk diperhatikan adalah menjaga keharmonisan dan kerukunan antarwarga Batam yang berasal dari berbagai suku, agama, dan ras. “Kami punya tim terpadu yang melibatkan FKPD dalam hal ini. Kami membuka ruang komunikasi antara pemerintah dan masyarakat,” tandasnya. (hms)
-
Studi Banding ATHG ke Batam_1.jpg590kB
-
Studi Banding ATHG ke Batam_2.jpg608.4kB
-
Studi Banding ATHG ke Batam_3.jpg487.7kB
-
Studi Banding ATHG ke Batam_4.jpg748.1kB
-
Studi Banding ATHG ke Batam_5.jpg404.6kB
- ,
- atau