Ketua DPRD Tabanan Usulkan Tektekan Nangluk Merana Masuk Kalender Budaya
KataBali.com – Sesuai rencana, Parade Tektekan-Nangluk Merana akhirnya digelar Desa Pekraman Kediri, pada Sabtu malam (25/3). Setelah sebelumnya, sejak 17 Maret 2017, atraksi budaya ini digelar secara maraton dari malam ke malam di seluruh wilayah desa pekraman.
Parade tersebut dibuka secara resmi oleh Ketua DPRD Kabupaten Tabanan I Ketut Suryadi dan berlanjut pada Minggu (26/3). Di hari pertama parade, ada tiga banjar yang beratraksi masing-masing Banjar Panti, Banjar Sema, dan Banjar Jagasatru. Sedangkan di hari kedua, parade akan diisi dengan atraksi dari Banjar Delod Puri, Banjar Puseh, Banjar Pande, serta Banjar Tanjung Bungkak.
Atraksi budaya yang sudah keempat kalinya digelar ini dipadati oleh para penonton serta disaksikan juga oleh para Perbekel se-Desa Pekraman Kediri. Selain Ketua DPRD I Ketut Suryadi, acara malam itu dihadiri juga oleh anggota DPRD Tabanan dari Fraksi PDIP I Made Suarta, Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Tabanan I GN Supanji, Camat Kediri I Made Murdika, dan tokoh masyarakat Kediri seperti I Nyoman Mulyadi.
Ketua DPRD I Ketut Suryadi dalam sambutan singkatnya menegaskan komitmennya untuk mendukung kegiatan budaya yang diselenggarakan Desa Pekraman Kediri. Sebab, kegiatan inilah yang menjadi salah satu implementasi dari ajaran Trisakti Bung Karno. Terutama pada poin, berkepribadian dalam bidang kebudayaan.
“Itu yang tidak boleh dihentikan dan harus dijaga oleh semua. Kita ini bangsa besar. Bangsa kaya. Tapi sekarang bangsa kita sedang dirongrong oleh yang namanya kapitalisme. Jangan sampai peradaban kita hilang. Budaya kita hilang. Strata sosial kita rusak,” tegasnya.
Karena itu, dia meminta kepada Dinas Kebudayan untuk memasukkan Parade Tektekan-Nangluk Merana sebagai kalender event kebudayaan di tingkat kabupaten. Sehingga, pelaksanaannya bisa berlangsung dari tahun ke tahun.
“Apa yang telah dilakukan krama Desa Pekraman Kediri ini secara tidak langsung telah membumikan salah satu poin penting ajaran Trisakti Bung Karno. Sekaligus, menjadi media konsolidasi untuk menjaga soliditas antarkrama desa pekraman,” tukasnya.
Karena itu, dalam kesempatan yang sama, Suryadi juga menyatakan akan turut menyumbang sebesar Rp 10 juta untuk mendukung pelaksanaan parade Tektekan Nangluk Merana.
Sebelumnya, secara singkat Bendesa Adat Desa Pekraman Kediri sekaligus Ketua Panitia Parade Tektekan-Nangluk Merana, Anak Agung Ngurah Gede Panji Wisnu menjelaskan bahwa tradisi Tektekan telah mengakar dan diwarisi secara turun-temurun oleh masyarakat setempat. Sekalipun sejarahnya tidak tertanggal dan hanya berdasarkan cerita para tetua.
Menurutnya, tradisi tektekan di Desa Pekraman Kediri sudah ada sejak lama dan diwarisi secara turun temurun, meskipun secara tertulis sejarah kemunculannya tidak tercatat sama sekali.
“Tapi secara tersirat dan berdasarkan keterangan para orang tua kami, tradisi ini muncul bersamaan dari gerubug atau wabah yang terjadi di Kediri. Konon, saat itu warga banyak mengalami sakit, ada yang meninggal. Sementara hasil tani gagal karena diserang hama,” tuturnya.
Untuk mengatasinya, para tokoh masyarakat dan pemangku pada saat itu sepakat untuk memohon petunjuk dengan melakukan persembahyangan di Pura Puseh yang ada di desa pekraman setempat.
“Di situ para tetua kami mendapatkan petunjuk bahwa kondisi gerubug tersebut hanya bisa dihilangkan dengan bunyi-bunyian. Sejak saat itu masyarakat Kediri turun keliling desa untuk melakukan tektekan. Dan, setelah beberapa hari dilaksanakan ada keajaiban segala wabah hilang,” imbuhnya.
Karena itu, sambungnya, tradisi tektekan di Kediri memiliki fungsi niskala yakni untuk mengatasai nangluk merana. Dan, pelaksanaannya tidak bisa diprediksi karena bergantung pada ada atau tidaknya wabah atau kemalangan di wilayah Desa Pekraman Kediri.
Meski demikian, sambungnya, tektekan ini juga memiliki fungsi sekala yakni fungsi hiburan dalam bentuk seni tabuh dan seni tari. Karena itu, sejak 2014 lalu kami di Desa Pekraman Kediri sepakat untuk mengadakannya sebagai kegiatan rutin tahunan.
“Khususnya menjelang hari raya Nyepi. Bila di tempat lain, kegiatan Nyepi disambut dengan pembuatan dan parade ogoh-ogoh atau keplug-keplugan, di Kediri kami sepakat meniadakan itu dan menggantinya dengan tektekan,” tandasnya. (hmtb)