Artha Sebut Ada Kelompok Intoleran Jelang Pilgub
KataBali.com – Mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI I Gusti Putu Artha menilai lunturnya toleransi dan munculnya kelompok radikal, serta intoleran akibat terjadinya dinamika sosial politik tak hanya terjadi di Pusat (Jakarta) ataupun di kota lain di Indonesia. Melainkan, juga terjadi di Bali, khususnya menjelang perhelatan Pemilihan gubernur (Pilgub) Bali 2018.
Pernyataan Putu Artha dengan munculnya kelompok intoleran di Bali jelang Pilgub itu sebagaimana disampaikan disela diskusi DPD Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Bali dan Forum Komunikasi Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) Bali bertajuk “Mengukuhkan Semangat Kebhinekaan: Indonesia Adalah Kita” di Denpasar, Minggu (29/1).
Pada diskusi yang juga menghadirkan Ketua LBH Muhammadiyah Bali, Zulfikar Ramly, Wakil Ketua MUI Pusat Irjen. Pol (Purn.) H. Anton Tabah, dan Pemerhati Sosial Wayan Suryatarta, Artha menyatakan bahwa saat ini di Indonesia sedang terjadi pertarungan antar elite politik terkait perebutan sumber daya yang ada di negeri ini, baik alam maupun manusia. Sehingga, hal ini yang memicu munculnya kelompok-kelompok fundamentalis di berbagai agama.”Ini adalah pertarungan sumber daya diantara bangsa dan tokoh-tokoh politik. Di agama apapun selalu ada kelompok fundamentalis,” ungkapnya.
Konsultan politik asal Buleleng ini mengatakan bahwa di Bali juga terdapat politisi-politisi yang menggoreng isu-isu SARA, khususnya menjelang helatan Pilgub 2018. Artha bahkan mengatakan bahwa politisi yang melakukan hal tersebut sebagai seorang fundamentalis.
“Di Bali juga ada politisi yang selalu menggoreng isu politik. Ya itu juga orang fundamentalis,” tegasnya.
Ia bahkan mengaku terusik dengan mulai banyaknya perilaku-perilaku intoleran yang terjadi di Indonesia, termasuk di Bali. Akan tetapi kata dia, Indonesia harus tetap meyakini bahwa NU dan Muhammadyah akan menjadi pilar terkahir benteng NKRI.
“Selama masih ada NU dan Muhammadyah, NKRI akan tetap terjamin utuh. Namun sebaliknya bila dua aliran itu mulai perlahan-lahan runtuh maka ancaman akaan keterpecahan NKRI sudah berada di depan mata,” ujarnya.
Menurutnya, Bali memiliki karakter berbeda dengan daerah lain. Kehadiran umat muslim di Bali dan berbagai umat agama lainnya memang diminta oleh para raja Bali saat itu. “Islam di Bali bukan berasal dari hasil invasi, atau penyebaran, tetapi memang diminta oleh raja-raja di Bali saat itu, untuk kepentingan raja-raja. Ada jejak sejarah yang menunjukkan, ada 38 titik kantong islam di Bali yang memang dihadirkan oleh raja-raja Bali untuk bisa membantu kepentingan raja saat itu. Begitu juga dengan kehadiran beberapa agama lainnya di Bali. Di Karangasem misalnya, beberapa upacara Hindu belum bisa dimulai tanpa kehadiran umat Islam. Kalau belum datang, maka upacara belum bisa dilanjutkan,” ujarnya.
Menurutnya, untuk toleransi antarumat beragama di Bali itu sudah beres sejak zaman raja-raja. “Sejak dulu Islam di Bali dengan umat Hindu sudah hidup berdampingan, rukun dan damai. Jangan sampai ada sekelompok orang yang datang ke Bali merusak keragaman yang sudah terpelihara sejak lama,” ujarnya.
Senada dengan Artha, Ketua LBH Muhammadiyah Bali Zulfikar Ramly, menegaskan bahwa akhir-akhir ini mulai ada kelompok-kelompok kecil yang merusak toleransi di Bali. Akan tetapi, dirinya tidak mau membahas lebih dalam.”Akhir-akhir ini mulai ada kelompok kecil yang merusak toleransi di Bali,” paparnya.
Sehingga dirinya mengajak berbagai elemen yang ada di Bali untuk menjaga toleransi di Bali agar aman. Bahkan ia, mengingatkan agar jangan membawa-bawa isu intoleran yang ada di luar Bali ke Bali.”Sekarang bagaimana kita menjaga, kita harus berbuat untuk Bali biar aman. Jangan minum di sana, mabuknya di sini,” tegasnya.
Ketua Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Bali, Jero Gede Suwena Putus Upadesha prihatin terkait lunturnya toleransi di Indonesia. “Kita dalam keprihatinan negara kita,” katanya.
Sementara itu, Wakil Ketua MUI Pusat, Irjen. Pol (Purn.) H. Anton Tabah mengaku bangga dengan tingginya toleransi di Bali. Bahkan, menurutnya berdasarkan survey yang dilakukan oleh Kemenang RI di tahun 2015 menempatkan Bali sebagai daerah nomor dua paling toleran di Indonesia setelah Nusa Tenggara Timur (NTT).
“Bali nomor dua paling toleran di Indonesia, berdasarkan surveynya Kemenag. Toleransi terbaik itu di Indonesia,” jelasnya.
Namun, pria asal Yogyakarta ini mengaku prihatin dengan semakin tingginya kasus intoleransi yang semakin meninggi di Indonesia. Bahkan, ia mengatakan situasi ini mirip dengan zaman PKI di era 1965.
“Situasinya kok mirip bagaimana seperti jaman PKI dulu, semua konflik, antar desa, agama, suku,” jelasnya.
Pemerhati Sosial, Wayan Suryatarta menegaskan bahwa sebenarnya tidak ada organisasi radikal di Bali. Namun, menurutnya yang ada hanya ada oknum-oknum yang ingin menghancurkan tatanan kedamaian yang ada di Bali”Tidak ada organisasi radikal, yang ada oknum-oknum tertentu yang ingin menghancurkan ini semua,” pungkasnya.(JcJy)