Ahli Sebut SK Bupati Gianyar Ilegal
KataBali.com – Sidang gugatan kasus pemberhentian sementara Drs Ida Bagus Gaga Adi Saputra M.si alias Gus Gaga dari jabatan sekretaris daerah (Sekda) Kabupaten Gianyar oleh Bupati Gianyar Anak Agung Gde Bharata, Rabu (10/5) kembali digelar di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Denpasar.
Mengagendakan penyerahan surat dan keterangan saksi ahli, pada sidang dengan pimpinan majelis hakim PTUN Denpasar Hinawan krisbiyantoro, didampingi dua anggotanya Mariana Ivan Junias, Ni Nyoman Vidiayu Purbasari, pihak penggugat Gus Gaga menghadirkan saksi ahli yakni Guru Besar Hukum Tata Negara dan Pemerintahan Universitas Udayana Prof DR Yohanes Usfunan SH.,MH. Sedangkan pihak tergugat dari bupati Gianyar menghadirkan Guru Besar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Universitas Tri Sakti
Prof DR Philipus M Hadjon.
Pada kesempatan pertama, saksi Yohanes Usfunan yang dimintai keterangan lebih dulu tegas menyatakan, bahwa terkait surat keputusan (SK) Bupati Gianyar Nomor 821.2/1728/BKD tentang pemberhentian sementara Gus Gaga dari jabatan sekda Gianyar adalah ilegal.
Alasannya? Lanjut dosen Fakultas Hukum Unud ini, selain bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, tindakan bupati Gianyar menerbitkan SK pemberhentian sementara, itu juga bertentangan dengan azas-azas umum pemerintahan yang baik.”Termasuk dari norma hukum. SK yang diterbitkan bupati juga bertentangan dengan Undang-Undang (UU) HAM pasal 4 Nomor 39 Tahun 2009.
Usfunan menyebutkan, dalam UU itu, bahwa HAM absolut itu adalah HAM yang dalam situasi apapun tidak boleh dilanggar dan dibatasi oleh siapapun. “Baik oleh negara, pemerintah dan masyarakat. Itu tidak boleh. HAM kebebasan, persamaan dimuka hukum,”tegasnya.
Sehingga lanjutnya, SK bupati Gianyar yang langsung memberhentikan Gus Gaga dari jabatan sekda sama saja telah memvonis. “Berarti ini bertentangan dengan asas praduga tak bersalah. Karena itu, SK bupati melanggar UU HAM,”ujarnya.
Tak hanya itu, dalam keterangannya, Usfunan juga menyebutkan jika SK bupati juga menyimpang dari UU berkaitan dengan Aparatur Sipil Negara (ASN) maupun UU Administrasi pemerintahan. “Bahwa pemberhentian terhadap seorang sekda harus dikonsultasikan dengan gubernur. Ini kan diluar itu, berarti ini ada unsur kesewenang-wenangan dan unsur arogansi kekuasaan,”imbuhnya.
“Keputusan itu juga tidak memperhatikan asas-asas umum pemeritahan yang baik, diantaranya adalah asas kepastian hukum. Asas kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan. Kalau menggunakan ukuran kepastian hukum, berarti SK bupati itu tidak patut, tidak adil sama sekali. Juga tidak mencerminkan asas kecermatan,”terang Usfunan.
Lalu? Kata Usfunan, semestinya AA Gde Beratha sebagai bupati harus bersikap hati-hati dan tidak arogan.” Apakah akibat terbitnya SK pembebasan sementara itu merugikan yang bersangkutan atau tidak? Ini kan menimbulkan kerugian yang harus digugat di peradilan PTUN. Karena apa ? PTUN itu kehadirannya untuk menguji keabsahan tindakan pemerintah. Menilai, apakah mengeluarkan SK itu sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Apakah sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. SK itu menyimpang dari kedua syarat itu,”papar Usfunan.
Dalam konteks peraturan mengenai disiplin pegawai negeri sipil, terang Usfunan disebutkan, orang yang diduga bersalah harus melalui proses pemanggilan, memberikan keterangan, mengintrogasi atau memeriksa melalui satu berita acara. “Sehingga dari hasil pemeriksaan itu baru bisa menjatuhkan sanksi. Orang ini belum dipanggil, belum diperiksa sudah dijatuhkan sanksi. SK pembebasan sementara yang dikeluarkan itu, bupati berlindung dibalik norma kabur yaitu pembebasan sementara. Pembebasan sementara itu apa bedanya dengan pemberhentian. Itu hanya istilah yang diperhalus untuk kemudian bisa bermain, sewenang-wenang dan bisa menyalahgunakan kewenangan,”urainya.
Sehingga dari pertentangan norma hukum ini kalau dibenarkan secara teoritis, Usfunan menyatakan berseberangan dengan teori penjenjangan norma hukum. Atau juga azas lex superior. Disebutkan dalam asas lex bahwa satu peraturan perundang-undangan berada di level paling bawah, baru diakui keberlakuannya kalau tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Kalau demikian SK itu harus batal demi hukum.
Alasan berikutnya berkaitan dengan konsideran, pertimbangan pada SK bupati itu. Konsideran A biasanya memuat hal-hal yang mendasar dan filosofis. Tapi jika dicermati dikeluarkannya SK itu tidak ada hal mendasar, kecuali ada luapan rasa kecewa bupati, karena sekda melapor ketidakbenaran kepada ASN. Dalam konteks hukum pertimbangan itu tidak masuk akan dan tidak memenuhi standar filosofis.
Ukuran yang kedua, imbuhnya satu peraturan perundang-undangan lebih baik kalau memenuhi standar sosiologis. “Orang ini kesalahannya apa saja? Kan ini tidak disebutkan. Disebutkan hanya kemauan dan kehendak bupati,”tandasnya.
Sedangkan pertimbangan yuridisnya, tidak mencerminkan nilai kepastian hukum.
Kata Usfunan, yang menjadi obyek sengketa adalah penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh pejabat tata negara dalam kaitannya dengan hukum tata usaha negara bersifat individual, kongkrit, menimbulkan akibat hukum. Jadi dengan menimbulkan akibat hukum, itu berarti memberikan hak kepada sekda untuk menggugat. Ini sekda belum diberhentikan tetapi menggunakan istilahnya sekda yang dibebastugaskan. “Sekali lagi ini sama saja dengan pembunuhan karakter secara halus, dan bupati berlindung di norma kabur itu,”tandasnya.
Sehingga dari prosedur pemeriksaan, jika menjunjung azas keterbukaan, SK itu tidak boleh dikeluarkan dulu. Namun memanggil yang bersangkutan dan memeriksa. “Siapa yang berhak memeriksa? Yang memeriksa itu tim pemeriksa dari pemda yang dibentuk bupati.Kalau sudah diperiksa kan ketahuan hasilnya bersalah atau tidak bersalah. Kalau ini kan tidak ada pemeriksaan tiba-tiba dinyatakan seperti itu. Berarti kan SK itu tendensius untuk kepentingan dan kesewanangan bupati. Pembebasan sementara ini kan sama dengan memvonis tanpa melalui proses pemanggilan, pemeriksaan dan pembuktian,”bebernya.
Lalu siapakah yang berhak menerbitkan SK pemberhentian itu? Bupati atau gubernur ? Ditanya demikian, Usfunan menyatakan jika seharusnya SK itu datangnya dari gubernur, karena gubernur yang menempatkan pejabat ini di situ. Dalam UU administrasi pemerintahan mengenai pengangkatan, pencalonan atau dan lain lain harus dikoordinasikan dengan gubernur. Karena ini PNS, pejabat pemerintah bukan pejabat politik, seharusnya dikembalikan ke gubernur.
Sementara dari pihak tergugat, terkait obyek kasus SK pemberhentian sementara, mantan Guru Besar Ilmu hukum Tata Negara dan Hukum admistrasi Universitas Airlangga Prof DR Philipus M Hadjon, menyebutkan bahwa penerbitan SK pemberhentian dibenarkan sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil atau sebelum lahirnya UU ASN.
Sebaliknya, Philipus menila atas gugatan pihak penggugat dengan mengacu PP, maka ia menilai justru prematur. Alasannya?” Karena upaya admidnistrasi tidak dilalui. Hukum memperlancar atau demi kelancaran pemeriksaan. Jadi SK itu tidak ada penyalahgunaan wewenang. Tidak ada unsur sewenang-wenang dan penyalahgunaan kewenangan, jadi pembebasan sementara dengan pemberhentian itu beda,”pungkasnya.
Atas keterangan saksi ahli, sidang akan dilanjutkan pekan depan dengan agenda pembacaan kesimpulan.(jcjy)